Smoga Makalah ini bisa membantu dlm
menyelesaikan tugas rekan2 semua, dan semoga bermanfaat
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Masalah
Nenek
moyang orang Mentawai mungkin datang ke Pulau Siberut sekitar 300 tahun yang
lalu. Asal usul mereka belum diketahui, namun beberapa literatur dan peniliti
mengarahkan dan menduga kuat, mereka berasal dari Batak Kuno, Sumatera Utara.
Tipe kebudayaan ini mungkin menyebar di seluruh Indonesia pada masa lampau,
tetapi telah dipengaruhi oleh kebudayaan lain (Hindu, Budha dan Islam yang
datang dari daerah luar).
1.2 Perumusan
Masalah
1.
Sistem Perladangan Di Mentawai
2.
Lakokaina
(Mengkeramatkan Kawasan Alami)
3. Sistem
Perbururuan Suku Mentawai
4.
Strategi
Pengembangan Ekowisata
5. Metawai yang
Mulai Hilang di Indonesia
6.
Struktur Sosial
7.
Budaya Tradisional
.
1.3 Tujuan
Makalah ini
dibuat dengan tujuan memenuhi nilai Mata Pelajaran Sosiologi dan untuk dapat
menambah pengetahuan serta wawasan pembaca mengenai Suku Mentawai. Selain itu
dapat pula dijadikan sebagai referensi bacaan bagi para Siswa Sma Negeri 1
Surade.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Perladangan
Di Mentawai
Masyarakat Mentawai adalah masyarakat
tradisional yang masih mempertahankan kehidupan adat dan tradisi. Hal ini
tercermin pada upacara-upacara di setiap tahap proses perladangan yang
merupakan mata pencaharian pokok penduduk. Alat-alat serta sistem
teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan masih tradisional,
seperti: tegle, suki, lading,kampak.
Satu hal yang pantas dipuji dalam sistem berladang masyarakat Mentawai adalah kearifan tradisional mereka dalam memelihara alam lingkungan. Masyarakat Mentawai tidak pernah mengenal adanya “slash and burn” (tebang dan bakar) yang dapat menimbulkan polusi udara atau, bahkan mungkin, kebakaran hutan, Berdasarkan kepercayaan yang diwarisi turun temurun, membakar pohon di hutan akan mengakibatkan kemarahan roh-roh penjaga hutan dan akan dapat mendatangkan penyakit bagi si pembakar atau pun keluarganya. Tanaman yang sudah ditebang maupun ditebas dibiarkan membusuk di tempatnya, tidak disingkirkan. Namun pada kenyataannya hal itu justru berguna karena akhirnya menjadi pupuk alami bagi ladang mereka.
Satu hal yang pantas dipuji dalam sistem berladang masyarakat Mentawai adalah kearifan tradisional mereka dalam memelihara alam lingkungan. Masyarakat Mentawai tidak pernah mengenal adanya “slash and burn” (tebang dan bakar) yang dapat menimbulkan polusi udara atau, bahkan mungkin, kebakaran hutan, Berdasarkan kepercayaan yang diwarisi turun temurun, membakar pohon di hutan akan mengakibatkan kemarahan roh-roh penjaga hutan dan akan dapat mendatangkan penyakit bagi si pembakar atau pun keluarganya. Tanaman yang sudah ditebang maupun ditebas dibiarkan membusuk di tempatnya, tidak disingkirkan. Namun pada kenyataannya hal itu justru berguna karena akhirnya menjadi pupuk alami bagi ladang mereka.
Alasan sebenarnya mereka melakukan itu
adalah untuk menghemat waktu dan tenaga, mengingat ladang yang mereka miliki
terlampau luas dan ada di berbagai tempat. Beberapa dari mereka
beranggapan bahwa membersihkan semak-semak yang sudah ditebas atau batang kayu
yang sudah ditebang merupakan pemborosan waktu dan tenaga saja. Mereka
pun tidak pernah menggunakan pupuk buatan, karena itupun dianggap sebagai
pemborosan, karena harganya relatif mahal bagi mereka.
Masyarakat Mentawai memiliki kearifan tradisi sendiri dalam mengolah ladang,
ada ritual khusus yang tak boleh ditinggalkan, kalau ingin hasil ladangnya
maksimal. Berikut tata cara pembukaan ladang di Muntei, Siberut Selatan, hasil
penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
Berladang atau dalam bahasa Mentawai mumone
merupakan salah satu upaya yang dilakukan masyarakat Mentawai untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Pembukaan lahan untuk ladang biasanya dilakukan oleh
beberapa keluarga yang tergabung dalam satu uma.
Tahap pertama dalam rencana pembukaan ladang adalah musyawarah di tingkat uma.
Musyawarah ini dihadiri oleh seluruh anggota uma, yaitu para tetua uma
dan anggota-angota yang lebih muda, terutama dari keluarga yang ingin membuka
ladang. Musyawarah ini dipimpin oleh sikebukkat uma (kepala
uma). Musyawarah tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai
lokasi dan luas lahan yang akan dibuka.
Tahap kedua melakukan survei lapangan untuk mengetahui hal-hal seperti areal
mana yang cocok, bagaimana kesuburan tanahnya, berapa luas lahan yang akan dibuka
serta batas-batasnya Survei ini bisa makan waktu dua minggu.
Tahap selanjutnya musyawarah lagi.
Hasil survei dibicarakan di uma, terutama untuk memfinalkan lokasi, luas ladang
dan kejelasan batas-batas lahan, sekaligus membicarakan kapan punen pasibuluake’
atau panaki, serta proses pembersihan semak belukar dilakukan.
Sebelum mulai membuka hutan atau
menebang pohon-pohon, harus terlebih dahulu dilakukan upacara “Panaki” yaitu
sebuah ritual meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan. Masyarakat adat Mentawai
meyakini bahwa ada sebuah kekuatan di luar manusia yang telah menjaga hutan dan
alam di sekitarnya. Oleh sebab itu, setiap akan melakukan aktivitas di hutan
termasuk menebang pohon harus terlebih dahulu meminta izin sebagai bentuk
penghargaan manusia terhadap kekuatan di luar diri mereka yang telah ikut
membantu menjaga alam bagi kelangsungan hidup manusia.
Berladang merupakan aktivitas penting sebab merupakan salah satu cara pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Di Siberut, perladangan dibuka di sekitar
kawaan hutan, dapat pada lokasi yang berbukit-bukit (leleu) dan juga pada
lokasi yang datar (su’suk). Namun meskipun demikian berdasarkan pengetahuan
tradisional, ada beberapa kriteria atau pertimbangan yang harus dipenuhi ketika
akan membuka kawasan perladangan, antara lain :
·
Tidak boleh membuka perladangan di lokasi yang curam, hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya longsor.
·
Perladangan baru juga tidak akan dibuka di kawasan yang banyak terdapat
pohon-pohon kayu yang bermanfaat untuk bahan bangunan atau rumah, sampan dan
peralatan rumah tangga, dll.
2.2 Lakokaina
(Mengkeramatkan Kawasan Alami)
Masyarakat Mentawai di Muntei
mempercayai bahwa kawasan tertentu seperti hutan, sungai, gunung, perbukitan,
hutan, laut, rawa dan sebagainya dijaga oleh mahluk halus yang disebut lakokaina.
Mereka yakin lakokaina ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus
menahan rezeki, karena itu harus dibujuk dan dihibur lewat punen atau lia.
Untuk itulah punen pasibuluake’ diselenggarakan. Tapi, tak seorang Mentawaipun
berani menyebut nama lakokaina, mereka takut kualat, artinya nenek
moyang atau sateteumai (nenek moyang kami).
Punen
Pasibuluakek diadakan di uma sibakkatpolag (pemilik ladang) dan
dipimpin oleh sikebukkat uma serta dihadiri oleh semua anggota uma, dari
yang paling tua sampai yang masih bayi. Para sinuruk (kerabat) dan
tetangga dekat juga diundang untuk makan bersama. Ayam dan babi
disembelih dan dimakan ramai-ramai. Otcai (bagian) dibagi sama rata. Tak
ada yang tak mendapatkannya, bahkan jiwa semua benda di tempat tersebut juga
dikasi, supaya mereka tenang dan tidak mengganggu. Terutama sekali tentu buat
teteu di puncak-puncak pohon. Mereka harus dibaik-baiki benar-benar, kalau
tidak dia bisa marah dan mengubrak-abrik ladang yang akan dibuka, atau membuat
semua tanaman mati tanpa sebab, atau yang lebih sadis, membiarkan tanaman
tumbuh subur sehingga menimbulkan harapan di hati peladangnya, lalu membuat
semua tanaman tersebut tak berbuah.
Mengkeramatkan kawasan alami seperti, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut,
rawa dan sebagainya secara tidak langsung masyarakat mentawai telah menjaga
kawassan tersebut karena ada batasan-batasan tertentu untuk mengelola dan
menjamahnya. Kearifan ini harus tetap dijaga dan dilestarikan karena dapat
menjaga keberlangsungan kelestarian alam.
2.3 Sistem Perbururuan Suku Mentawai
Berburu merupakan sebuah aktivitas
kebanggaan kaum laki-laki Mentawai. Kebanggaan tersebut dapat dilihat dari
pajangan tengkorak binatang buruan (abakmanang) di dalam uma. Selain sebagai
ajang menguji keahlian dan ketrampilan menggunakan peralatan berburu (busur dan
anak panah), berburu juga menjadi sebuah bentuk pengetahuan tradisional
masyarakat adat Mentawai terhadap alam dan fenomenanya. Sebab berburu tidak
dilakukan setiap saat, ada masa atau waktu tertentu yang dianggap baik untuk
berburu, seperti perhitungan bulan. Berburu juga biasanya dilakukan sebagai
penutup upacara atau pesta adat (puliaijat). Selain itu setiap kali
berburu, berlaku tabu (kei-kei) yang harus dijalani oleh setiap orang
yang ikut pergi berburu.
Berburu juga dilakukan dengan upacara panangga yang maknanya sama dengan
upacara panaki yaitu meminta izin terlebih dahulu kepada roh-roh penjaga hutan
sebagai penghargaan dan rasa terima kasih.
Kegiatan berburu di mentawai ini termasuk pada kegiatan konservasi karena
memiliki aturan dan tatacara yang tepat. Perburuan ini dapat membuat populasi
hewan yang ada dihutan menjadi sehat karena dilakukan pada waktu-waktu
tertentu serta mempertimbangkan ukuran, umur dan satwa-satwa tertentu saja.
2.4 Strategi Pengembangan Ekowisata
Kaerifan
tradisional yang terdapat di Mentawai dapat dikembangkan menjadi kegiatan
ekowisata, karena kearifan tradisional merupakan unsur dari kebudayaan yang
merupakan salah satu dari prisip ekowisata. Kearifan tradisional tersebut harus
dijaga dan dilestarikan, salah satunya adalah dengan mengembangkannya menjadi
sebuah kegiatan ekowisata.
Pengembangan ekowisata di Mentawai dilakukan untuk melestarikan kearifan
tradisional serta meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal dengan taetap memperhatikan
daya dukung lingkungan. Kegiatan ekowisata juga dapat menciptakan kesadaran
wisatawan akan perlunya konservasi atau menjaga lingkungan melalui kearifan
masyarakat lokal dengan dikemas menjadi program ekowisata.
Kegiatan ekowisata yang dikembangkan melibatkan peranan masyarakat lokal
sebagai subjek atau sebagai penyelenggara kegiatan wisata dan sesuai dengan
bentuk-bentuk kearifan tradisional yang ada dalam kehidupan masyarakat lokal
yaitu, sistem perladangan, mengkeramatkan lingkungan alami, serta sistem
perburuan.
1. Berladang dengan masyarkat lokal
Wisata berladang dengan masyarakat dilakukan sesuai dengan tatacara masyarakat
tersebut menjalankan aktivitasnya di ladang. Wisatawan diajak untuk melakukan
kegiatan yang sama dengan cara dikemas dalam bentuk-bentuk yang menarik.
2. Traking di hutan
Wisata bertualang di hutan dilakukan sesuai dengaan tatacara yang harus berlaku
sesuai aturan-aturan suku mentawai. Sebelum memasuki kawasan hutan wisatawan
diharuskan mengikuti upacara adat yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
Setelah itu wisatawan boleh memasuki hutan dengan didampinggi oleh penduduk
lokal.
3. Wisata berburu
Wisata berburu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati
oleh masyarakat setempat. Wisata berburu hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu
tertentu saja karena harus memperhatikan keadaan populasi dan keadaan satwa
yang akan diburu. Sebelum berburu wisatawan mengikuti upacara adat untuk
meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan untuk berburu yang dipandu oleh
masyarakat lokal.
Kegiatan wisata yang dikembangkan di Mentawai sesuai dengan Bentuk-bentuk
kearifan tradisional serta melibatkan masyarkat lokal dalam pelaksanaan dan
pengelolaannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serat dapat
meningkatkan pola pikir masyarakat tersebut dengan tidak menghilangkan
kebiasaan yang positif seperti halnya kearifan tredisional yang selama ini
mereka pertahankan.
2.5 Metawai yang Mulai Hilang di Indonesia
Suku Mentawai merupakan kelompok masyarakat
yang hidup dan menetap di kepulauan Mentawai,
propinsi Sumatera Barat. Turun temurun, suku Mentawai tinggal di empat
pulau besar di kepulauan Mentawai yakni Sibora, Siberut, Pagai Utara
serta Pagai Selatan.
Secara geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera
Hindia.Untuk menuju ke kepulauan Mentawai, anda harus menyeberangi laut
dengan menggunakan perahu motor. Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang lebih kurang 100
kilometer. Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam
sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur
bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Di Mentawai, sebuah Uma biasanya dihuni
oleh 5 hingga 7 kepala keluarga dari keturunan yang sama. Satu diantaranya
anggota yang tinggal dalam sebuah rumah disebut Sikerei. Sikerei itulah yang
oleh suku Mentawai dianggap sebagai tetua. Uma menjadi pusat kehidupan bagi
suku Mentawai. Di dalam Uma itulah, suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan
pertemuan dan melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan. Uma
juga menjadi tempat untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada yang sakit.
Kesederhanaan hidup suku Mentawai terlihat
dari cara mereka berpakaian. Pada umumnya, pakaian suku Mentawai masih
tradisional. Kaum lelaki Mentawai masih mengenakan Kabit yakni penutup bagian
tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas
dibiarkan telanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai kain.
Sikerei, tetua di Mentawai-pun masih
mengenakan Kabit. Lain halnya dengan kaum wanita, untuk menutup tubuh bagian
bawah, mereka menguntai pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok.
Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga
berbentuk seperti baju. Kalaupun ada suku Mentawai yang mengenakan kain
sarung ataupun pakaian lengkap, jumlahnya hanya beberapa orang saja.
Suku Mentawai hidup terikat dengan aturan
adat. Salah satu aturan adat yang selalu mereka jalankan yakni Arat
Sabulungan. Arat berarti adat, sementara Sabulungan bermakna daun. Jika
diartikan, Arat Sabulungan mengatur kehidupan suku Mentawai untuk menghormati
dan menjaga daun. Berdasarkan ajaran leluhur Mentawai, daun diyakini sebagai
tempat bersemayamnya dewa hutan, dewa gunung, dewa laut, serta dewa air.
Suku Mentawai juga meyakini daun menjadi
penghubung antara Sang Pencipta dengan manusia. Begitu kuatnya kepercayaan
suku Mentawai terhadap kekuatan daun, pantang bagi keturunan suku Mentawai
untuk merusak hutan. Mereka dilarang untuk menebang hutan sembarangan. Untuk
memasak, mereka hanya diperbolehkan mengambil ranting pohon yang telah jatuh
ke tanah. Jika melanggar, mereka akan mendapat sanksi adat. Bahkan mereka
percaya, jika merusak hutan, musibah dapat menghampiri kehidupan masyarakat
Mentawai.
Hutan menjadi tempat utama bagi kehidupan
suku Mentawai. Mereka mendirikan Uma atau rumah di dalam hutan. Di dalam
hutan itu pula, mereka mencari hewan buruan untuk dimakan. Monyet, babi
hutan, serta kelelawar menjadi sasaran rutin bagi suku Mentawai. Jika dibandingkan
dengan jenis hewan lainnya, suku Mentawai menganggap monyet sebagai hasil
buruan yang paling berharga.
Ketika ada warga berhasil mendapat buruan
monyet, mereka jmemanggil anggota keluarga serta kerabat lainnya untuk ikut
menikmati monyet tersebut. Membagi rata hasil buruan dan harus dihabiskan
tanpa sisa menjadi kewajiban bagi Suku Mentawai. Mereka percaya, jika ada
hasil buruan yang tidak dihabiskan ketika itu juga, malapetaka akan menimpa
seluruh keluarga. Jenis hewan yang pantang untuk diburu adalah anjing. Mereka
menganggap, membunuh dan memakan anjing merupakan sebuah pelanggaran adat.
Bagi mereka, anjing merupakan hewan kesayangan yang hanya boleh untuk
dipelihara bukan untuk dimakan.
Sejak dulu, suku Mentawai selalu menerapkan
hidup menyatu dengan alam. Merusak alam dan berburu secara liar diyakini
dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan suku Mentawai. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup, mereka tidak hanya bergantung pada berburu. Mereka mencukupi
kebutuhan makan dengan cara beternak babi dan ayam. Tak hanya itu, setiap
kali mereka menebang pohon sagu untuk diolah menjadi bahan makanan, suku
Mentawai menggantinya dengan menanam pohon sagu yang baru.
Jika suku Mentawai dapat hidup sederhana
dan mencintai alam, bagaimana dengan anda? Mengingat saat ini alam
membutuhkan bantuan dari tangan manusia, kebiasaan hidup suku Mentawai dapat
dijadikan contoh. Tertarik untuk melihat kehidupan suku Mentawai lebih dekat
lagi, kepulauan Mentawai di propinsi sumatera Barat dapat menjadi kunjungan
anda berikutnya.
|
2.6
Struktur Sosial
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma". Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma.
Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini.
Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali "sikerei" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Secara tradisional uma mempunyai wewenang tertinggi di Siberut. Selama rezim Orba fungsi organisasi sosial uma kurang begitu berfungsi tetapi sejak era reformasi uma mulai digalakkan kembali dibeberapa Desa dengan dibentuknya Dewan Adat. Sejak otonomi daerah bergulir direncanakan satuan pemerintah terendah yaitu “ laggai”.
2.7 Budaya Tradisional
Menurut agama tradisional Mentawai (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit.
Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kegiatan keseharian yang tidak sesuai dengan adat dankepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma". Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma.
Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini.
Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali "sikerei" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Secara tradisional uma mempunyai wewenang tertinggi di Siberut. Selama rezim Orba fungsi organisasi sosial uma kurang begitu berfungsi tetapi sejak era reformasi uma mulai digalakkan kembali dibeberapa Desa dengan dibentuknya Dewan Adat. Sejak otonomi daerah bergulir direncanakan satuan pemerintah terendah yaitu “ laggai”.
2.7 Budaya Tradisional
Menurut agama tradisional Mentawai (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit.
Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kegiatan keseharian yang tidak sesuai dengan adat dankepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
Upacara agama dikenal dengan sebagai punen, puliaijat atau lia harus dilakukan bersamaan dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin oleh para sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, maka sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian.
Kepercayaan tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun.
Bagaimanapun juga, sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan cepat dan sumberdaya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai.
Dalam melakukan kegiatan beerburu, pembuatan sampan, merambah/membuka lahan untuk ladang atau membangun sebuah uma maka biasanya dilakukan secar bersama-sama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan/upacara.
Makanan pokok masyarakat di Siberut adalah sagu (Metroxylon sagu), pisang dan keladi. Makanan lainnya seperti buah-buahan, madu dan jamur diramu dari hutan atau ditanam di ladang. Sumber protein seperti rusa, monyet dan burung diperoleh dengan berburu menggunakan panah dan ikan dipancing dari kolam atau sungai
Mayoritas
orang Mentawai memeluk agama Katolik dan sebagian beragama Protestan, Islam
atau Bahai. Walaupun demikian sebagian besar orang Mentawai tetap memegang
teguh religinya yang asli, ialah Arat Bulungan. Arat berarti “adat” dan
bulungan berasal dari kata bulu (= daun).
Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.
Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya.
Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh).
Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.
Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.
Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.
Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa.
Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.
Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulon tersebut di atas.
Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.
Benda-benda Perantara Antara Dunia Gaib dan Nyata
Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan (2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.
Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.
Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.
Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya.
Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh).
Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.
Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.
Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.
Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa.
Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.
Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulon tersebut di atas.
Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.
Benda-benda Perantara Antara Dunia Gaib dan Nyata
Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan (2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.
Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suku Mentawai merupakan kelompok masyarakat yang
hidup dan menetap di kepulauan Mentawai, propinsi Sumatera Barat. Turun temurun, suku
Mentawai tinggal di empat pulau besar di kepulauan Mentawai yakni Sibora, Siberut, Pagai Utara serta Pagai Selatan. Secara geografis, letak kepulauan Mentawai
berhadapan dengan Samudera Hindia.Untuk menuju ke kepulauan Mentawai, anda
harus menyeberangi laut dengan menggunakan perahu motor. Jarak kepulauan
Mentawai dari Pantai Padang lebih kurang 100 kilometer. Secara turun
temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah
yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk
panggung.
3.2 Saran
Makalah ini
tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu masukan serta saran dari para
pembaca sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
4. http://uun-halimah.blogspot.com/2007/12/sistem-kepercayaan-orang-mentawai.html
makasih makalahnya ngebantu tugas ane
BalasHapusMakasih makalahnyaa
BalasHapusPendapat tentang suku Mentawai
BalasHapusGet free race tech titanium watch - ITIAN GOLD
BalasHapusWith its 2019 ford fusion hybrid titanium stunning design and distinctive unique design, the watch makes for a camillus titanium knife thrilling gaming experience where can i buy titanium trim like no other. Made exclusively titanium wedding band for titanium fidget spinner a